Jayapura, BPT.com, – Anggota Tim Kuasa Hukum Thomas Sondegau, Ma’ruf Bajammal menyatakan, pihaknya bakal mengajukan pra peradilan atas kasus yang menimpa kliennya. Menurut Ma’ruf, alasan pra peradilan itu lantaran pihak kuasa hukum Thomas menemukan adanya kejanggalan dalam kasus tersebut.
Ma’ruf menceritakan pada Senin, 27 September 2021, Thomas Sondegau yang adalah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua, ditangkap oleh anggota Direktorat Reserse Narkotika (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya karena diduga menyalahgunakan narkotika.
Dari penangkapan tersebut, ditemukan 1 (satu) butir ekstasi dari saku celana Thomas, padahal yang bersangkutan menyatakan tidak pernah mengetahui apalagi menggunakan obat ‘haram’ tersebut.
Atas penangkapan itu, Thomas saat ini sedang menjalani rehabilitasi inap di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur berdasarkan permohonan yang diajukan oleh Ditresnarkoba Polda Metro Jaya.
Dalam proses penanganan perkara Thomas tersebut, LBH Masyarakat (LBHM) dan Kantor Hukum Haris Azhar & Partner (HAP) selaku Tim Kuasa Hukum Thomas melihat ada sejumlah kejanggalan yang berakibat pada tercederainya hak-hak Thomas.
“Kasus Thomas juga dilihat sebagai salah satu bentuk kriminalisasi terhadap seseorang dengan melanggengkan praktik stigma terhadap penggunaan narkotika,”kata Ma’ruf melalui rilisnya, Rabu (25/11/2021).
Ma’ruf menjelaskan kejanggalan itu, pertama, bahwa penangkapan yang dilakukan terhadap Thomas menyalahi proses yang diatur dalam KUHAP. Dalam penangkapan, Thomas tidak diperlihatkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penggeledahan.
“Hal ini menunjukkan indikasi adanya praktik penjebakan yang dilakukan pihak kepolisian dengan memanfaatkan pihak ketiga untuk melakukan jebakan dalam penangkapan Thomas,”terangnya.
Kedua, proses penahanan dilakukan secara sewenang-wenang karena tidak ada surat penahanan yang ditunjukkan kepada Thomas dan kepada keluarga Thomas. Pada proses penahanan, Thomas juga tidak diperkenankan untuk didampingi oleh tim kuasa hukumnya;
Ketiga, proses penetapan tersangka terhadap Thomas tidak sesuai dengan prosedur hukum acara pidana. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, setidaknya harus didasari dua alat bukti.
“Dalam proses penanganan perkara Thomas, bukti yang ditemukan menunjukkan keterangan yang berbeda,” beber Ma’ruf.
Keempat, adanya dugaan penjebakan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan menggunakan perempuan berinisial R sebagai alat untuk merekayasa kasus Thomas, seolah-olah Thomas memiliki dan menyalahgunakan narkotika. Dugaan penjebakaan tersebut semakin kuat karena perempuan yang ditangkap bersama Thomas tidak dilakukan penahanan. Padahal saat dilakukan pemeriksaan oleh pihak Kepolisian, perempuan tersebut dinyatakan positif (+) menggunakan narkotika.
Kelima, hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh RSKO dan hasil tes laboratorium yang dilakukan oleh BNN Provinsi DKI Jakarta menyatakan Thomas negatif (-) menggunakan narkotika, berbeda dengan hasil penyidikan Kepolisian;
Keenam, terdapat intervensi dari pihak Kejaksaan kepada keluarga Thomas untuk meminta Thomas mencabut surat kuasa kepada salah seorang tim kuasa hukum. Hal ini menunjukan pihak Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang menangani perkara Thomas tidak menjalankan tugas dengan professional, bahkan mengingkari doktrin Tri Krama Adhyaksa.
Lebih jelas merujuk pada segala dugaan tersebut, Tim Kuasa Hukum Thomas kemudian mendaftarkan permohonan Pra Peradilan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun persidangan pertama pra peradilan tersebut rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 29 November 2021.
“Upaya pra peradilan tersebut diajukan sebagai sarana koreksi atas segala tindakan yang dilakukan pihak Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani perkara Thomas, agar penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika tidak menjadi sarana rekayasa kasus yang terus berulang,”tegasnya.
Menurut dia, praktik penegakan hukum yang sarat dengan rekayasa dalam tindak pidana narkotika sesungguhnya telah lama disaksikan komunitas pengguna obat – obatan terlarang di seluruh Indonesia.
“Peristiwa yang diduga kembali terjadi kepada Thomas ini seakan menjadi bukti atas pengalaman kolektif ini,”ujar Ma’ruf.
Adapun rekayasa kasus narkotika yang menyita perhatian publik karena dianulir oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk dibebaskan pada tahap kasasi, seperti kasus Iwan dan Benny, maupun Ket San. Kasus-kasus tersebut dianulir karena terbukti terdapat perekayasaan fakta atau konstruksi hukum sejak ditangani oleh pihak kepolisian.
Berdasarkan hal tersebut di atas, LBHM dan HAP selaku Tim Kuasa Hukum Thomas mendesak,
Hakim yang memeriksa permohonan pra peradilan yang diajukan Thomas agar mengadili perkara ini secara independen, bijaksana, dan menjatuhkan putusan dengan mendasarkan pada kebenaran materil yang terungkap dalam persidangan;
Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Thomas secara menyeluruh dan memberi hukuman pada Anggota Kepolisian yang terbukti melanggar prosedur.
Jaksa Agung Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Thomas secara menyeluruh dan memberi hukuman pada Anggota Kejaksaan yang terbukti melanggar prosedur.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, dan Ombudsman Republik Indonesia melakukan investigasi mandiri terhadap kasus ini untuk memperoleh lebih banyak data, serta memberikan rekomendasi kebijakan agar hal serupa tidak terjadi lagi.
Pemerintah dan Parlemen untuk membuat peraturan yang mendekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika dalam jumlah kecil agar mereduksi masifnya pendekatan hukum pidana dan perekayasaan kasus terhadap permasalahan narkotika. (Redaksi BPT)